“Lifting” Minyak Makin Anjlok, Keberlanjutan Pasokan Disorot
Sumber : Kompas edisi 20 Juli 2024.
Realisasi produksi siap jual (Lifting) Minyak Bumi pada semester I-2024 tercatat 576.000 Barel per hari atau jauh dibawah target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024. Banjir dilokasi pengeboran sumur menjadi salah satu hambatan dalam realisasi lifting minyak.
Apabila tren penurunan produksi minyak yang terjadi dari tahun ke tahun tidak diantisipasi, ada potensi dampak terkait keberlanjutan pasokan minyak.
Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksanaan Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKKM Migas), realisasi itu hanya 91 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 sebesar 635.000 barel per hari (BOPD) serta 98 persen dari target rencana kerja dan budget tahun (WP&B) 2024 yaitu sebesar 589.500 BOPD. Dengan kondisi tersebut, realisasi lifting minyak diperkirakan hanya mencapai 595.000 BOPD pada akhir tahun 2024 (Outlook).
Pada semester-I 2024, gangguan banjir terjadi di mana-mana. Praktis, lebih dari satu bulan drilling (pengeboran) tidak bisa di lakukan. Kemudian ada beberapa keterlambatan drilling yang menyebabkan realisasi menjadi 576.000 BOPD ujar kepala SKK Migas Dwi Soetjipto dalam konferensi pers progress kinerja hulu migas semester-I 2024, di Jakarta, Jum’at (19/7/2024).
Berdasarkan data SKK Migas, penghentian operasi tak terduga (Unplanned Shutdown) Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) yang turut memengaruhi produksi nasional itu terjadi karena factor cuaca. Hal itu mengakibatkan banjir, akses rusak, dan temperatur rendah. Hal itu, antara lain terjadi di KKKS Pertamina Hulu Rokan, Pertamina Hulu Energi Kampar, Pertamina EP, Tiara Bumi, Sele Raya Belida dan PT Bumi Siak Pusako.
Disamping itu ada Unplanned Shutdown karena gangguan fasilitas produksi seperti di KKKS BP Berau, PHE Jambi Merang, ENI Muara Bakau dan ENI Sepinggan. Gangguan diantarnya berupa kebakaran unit pemanas gas regenerasi (regen gas heater), gangguan kompresor dan kebocoran pipa.
Deputi Eksploitasi SKK Migas Wahju Wibowo menambahkan , hujan dan keterhambatan infrastruktur jalan membuat KKKS kesulitan menggerakan unit fasilitas produksi. “Sekarang ada sekitar 80 sumur yang belum bisa di bor, yang seharusnya di bor pada semester-I 2024. Namun sekarang unitnya sudah ada. Rig-rig baru ini lebih baik. Jika biasanya 1 rig hanya bisa bro 2,5 perbulan, ini bisa 3 sumur. Semoga kita bisa kejar (target) hingga akhir tahun” katanya.
Sementara itu, realisasi salur gas bumi pada semester I-2024 sebesar 5.301 juta standard kaki kubik per hari (MMSCFD) atau masih di bawah target APBN 2024 yang 5.785 MMSCFD. Berdasarkan kondisi itu, outlook realisasi salur gas pada akhir 2024 adalah 5.554 MMSCFD. Kendati realisasi dibawah target, Dwi menuturkan salur gas bumi di Indonesia relative tidak ada kendala berarti.
Realisasi lifting semester I-2024 melanjutkan tren penurunan dari tahun ke tahun. Berdasarkan catatan Kompas, pada tahun 2000 produksi minyak Indonesia mencapai 1,4 jujta BOPD. Namun kemudian turun bertahap hingga 900.000-an BOPD pada tahun 2010. Tren pun berlanjut hingga pada 2023 hanya 605.500 BOPD. Indonesia juga sejak lama menjadi negara pengimpor bersih minyak karena produksi jauh dibawah kebutuhan.
Faktor utama merosotnya produksi nasional ialah sekitar 70 persen sumur minyak sudah tua sehingga terjadi penurunan produksi secara ilmiah.
Potensi Dampak
Direktur eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notunegoro mengatakan, penurunan lifting minyak 576.000 BOPD berpotensi memberui dampak pada fiskal dan moneter Indonesia. Pada fiskal dengan membesarnya selisih antara penerimaan dan impor, semakin besar biaya yang ditanggung negara. Pada moneter kebutuhan devisa akan semakin besar seiring kian besarnya kebutuhan impor minyak.
Namun yang jauh lebih penting dan perlu mendapat perhatian ialah terkait keberlanjutan pasokan energi. Kita tahu geopolitik di komoditas minyak sangat rentan, misalnya terjadi perang di Kawasan produksi atau jalur distribusi minyak bumi. “Yang dikhawatirkan ialah kita akan berebut dengan negara-negara lain. Apabila kita tidak dapat, akan lebih parah kondisinya. Jadi Sosial-ekonomi bisa terdampak secara keseluruhan,” ujar Komaidi.
Dalam mengatasi hal itu lanjut Komaidi pemerintah perlu all out dan mengidentifikasi akar-akar permasalahan. Salah satunya terkait kolaborasi dengan Perusahaan-perusahaan besar migas di tingkat global. Beberapa waktu terakhir, ada kecenderungan pemain-pemain besar memilih hengkang. Di sisi lain, Amerika Latin kini cenderung lebih dilirik, salah satunya karena memiliki cadangan minyak dalam jumlah besar.